Guideku.com - Lorong Rappocini tak pernah terdengar semeriah ini sebelumnya. Di balik gemerlap mural warna-warni dan jalan paving yang rapi, ada kisah perjalanan panjang sebuah lorong yang semula penuh keputusasaan, berubah menjadi inspirasi. Suatu hari di bulan Oktober yang terik, saya memasuki gerbang lorong ini, mencoba menyusuri jejak perubahan yang ternyata diwarnai dengan berbagai kisah duka dan kebanggaan.
Lorong yang Lahir Kembali
Melangkah melewati mural-mural yang terpajang, saya menyadari bahwa lorong ini menyimpan kisah yang lebih dalam dari sekadar keindahan visual. Dulu, lorong Rappocini dijuluki "Texas"—bukan karena eksotisme Barat, tetapi karena tingginya angka kriminalitas dan bentrokan antarwarga.
Perang busur dan jalanan kumuh sudah menjadi hal biasa, sampai warga pun nyaris terbiasa dengan kekacauan tersebut. Tetapi, ketika Astra mulai hadir pada 2015, keadaan mulai berubah. Lambat laun, lorong ini tak lagi menjadi tempat yang menyeramkan, melainkan lokasi kunjungan warga yang penasaran dengan mural-mural indah dan lingkungan bersihnya.
Di tengah perjalanan, saya bertemu Hj Dana, seorang warga setempat yang dengan bangga menunjukkan mural-mural di tembok lorongnya. "Warga di lorong lain sampai iri, mereka datang foto-foto," katanya, tertawa kecil.
Sentuhan warna-warni ini, meski tampak sederhana, telah mengubah kehidupan sosial di lorong ini. Orang-orang mulai tertarik untuk berkunjung, dan lambat laun lorong ini pun lebih ramai dengan kehidupan yang damai.
Rotan yang Kehilangan Pamor
Saat kaki terus melangkah, saya mendapati rumah kecil bertuliskan “UKM Rotan Binaan Astra International Tbk”. Di dalamnya, Nurhayati tengah duduk bersama suaminya, Alex. Mereka bercerita tentang bisnis rotan yang dulu berjaya, namun kini layu. “Kami sempat di puncak, kursi rotan diminati banyak orang,” kenangnya.
Waktu bergulir, tren berganti, dan kursi rotan tergeser oleh furnitur kayu. Meski Astra sempat memberikan modal pada 2019, persaingan tak berpihak pada mereka, hingga akhirnya produksi harus berhenti pada 2021.
“Kami ingin usaha tetap hidup, tapi anak-anak tidak tertarik melanjutkan,” katanya dengan nada getir. Alex pun harus merantau ke Kalimantan, mencari nafkah yang kian sulit di tengah lorong yang semakin sepi dari aktivitas produksi.
Bank Sampah yang Menyokong Pendidikan
Di tengah terik Makassar, saya terus mencari sisa-sisa kejayaan lorong ini. Seorang warga mengarahkan saya ke tempat yang dulunya dikenal sebagai Bank Sampah Burasa. Bank sampah ini dulu populer dan sukses menginspirasi daerah lain sebagai studi tiru.
Bukan hanya soal kebersihan, Bank Sampah Burasa pernah menjadi penopang pendidikan anak-anak setempat. Dana, eks-direktur bank sampah ini, mengenang bahwa anak-anaknya bisa sekolah berkat uang dari sampah yang dikumpulkan.
Namun, segala yang ada akan ada akhirnya. Pada tahun 2020, bank sampah itu digusur untuk memberi tempat bagi perumahan elit yang baru. “Kami mencoba pindah, tapi warga tak lagi antusias. Akhirnya kami tutup,” ujar Dana sambil menatap kosong ke arah bangunan yang kini berdiri menggantikan mimpi-mimpinya dulu.
Secercah Harapan di Poskeskel dan Sanggar Seni
Di tengah kisah-kisah pilu tersebut, lorong ini masih menyisakan secercah harapan lewat Pos Kesehatan Kelurahan (Poskeskel) dan Sanggar Seni yang masih aktif. Astra membantu menyediakan alat tensi, kolesterol, gula darah, hingga fasilitas latihan musik dan tari untuk anak-anak. Setidaknya, ada harapan bahwa perubahan kecil ini dapat berdampak besar bagi generasi mendatang.
Ketika saya bersiap meninggalkan lorong Rappocini, Dana menatap dengan harapan yang besar. "Kami sudah merasakan banyak manfaat dari Astra, dan semoga masih ada program yang berkelanjutan," ucapnya. Kini, warga lorong bermimpi untuk memiliki lorong yang lebih hijau, dengan tanaman hortikultura yang bisa mereka rawat.
Lorong Rappocini adalah bukti hidup dari sebuah harapan yang berkali-kali dipadamkan namun terus menyala kembali. Kisah lorong ini adalah kisah warga yang tetap bertahan meski diterpa berbagai perubahan.